![]() |
Ilustrasi Kemiskinan. (Dimas Ardian/Bloomberg) |
Pada tahun 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia diperkirakan menjadi salah satu yang terbesar di kawasan ASEAN. Kondisi ini terjadi di tengah penciptaan lapangan kerja yang belum sebanding dengan kebutuhan dan pertumbuhan upah yang stagnan. Fenomena ini menggarisbawahi kenyataan bahwa kerja keras saja belum cukup untuk keluar dari kemiskinan, sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih berpihak kepada para pekerja demi peningkatan taraf hidup mereka.
Berdasarkan laporan Macro Poverty Outlook edisi April 2025 dari Bank Dunia, sekitar 60,3% penduduk Indonesia atau sekitar 169,8 juta jiwa tergolong miskin, jika menggunakan batas garis kemiskinan negara berpendapatan menengah atas, yaitu pengeluaran minimum sebesar US$ 6,85 per hari (sekitar Rp115.504 dengan kurs JISDOR Rp16.862/US$).
Sebagai negara yang telah masuk kategori upper-middle income dengan GNI per kapita sekitar US$ 4.580 (sekitar Rp77,22 juta) pada 2023, Indonesia sejatinya seharusnya memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Apalagi bila dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand—dua negara ASEAN lain dalam kategori serupa—yang masing-masing memiliki persentase penduduk miskin hanya 1,3% dan 7,1%.
Sementara itu, negara ASEAN lain yang belum tergolong upper-middle income seperti Vietnam, Filipina, dan Laos mencatatkan tingkat kemiskinan masing-masing sebesar 18,2%, 50,6%, dan 68,5%. Artinya, berdasarkan tolok ukur Bank Dunia, Indonesia hanya lebih baik dari Laos dalam hal jumlah penduduk miskin.
![]() |
Macro Poverty Outlook World Bank, April 2025: Indonesia diperkirakan hanya tumbuh 4,8% tahun ini (World Bank) |
Perbedaan Data Versi Nasional
Di sisi lain, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada September 2024, persentase penduduk miskin Indonesia berada di angka 8,57% atau sekitar 24,06 juta orang—terendah sepanjang sejarah sejak data kemiskinan pertama kali dicatat pada 1960.
Namun, definisi kemiskinan versi BPS jauh lebih rendah dibanding standar internasional. BPS menetapkan batas garis kemiskinan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, atau setara dengan sekitar Rp19.841 per hari. Bandingkan dengan standar Bank Dunia yang hampir enam kali lebih tinggi yaitu Rp115.504 per hari per orang.
Pekerja Miskin: Masalah Struktural
Terlepas dari perbedaan standar penghitungan, permasalahan yang belum terselesaikan adalah masih tingginya angka pekerja yang tetap hidup dalam kemiskinan. Dari 24,06 juta penduduk miskin versi BPS, sebanyak 40% di antaranya ternyata adalah orang yang bekerja. Fenomena ini tidak banyak berubah dalam satu dekade terakhir.
Data Susenas Maret 2024 menunjukkan, sekitar 10,04 juta pekerja masuk kategori miskin—angka yang nyaris identik dengan kondisi tahun 2015. Banyak dari mereka bekerja di sektor pertanian, yang cenderung tidak formal dan memiliki produktivitas rendah.
![]() |
Kelas Menengah Turun Kasta, Kesejahteraan Merosot (Bloomberg Technoz) |
Stagnasi ini menjadi penanda adanya kegagalan sistemik dalam penciptaan pekerjaan layak. Penurunan kelas menengah sejak 2018, bersamaan dengan melemahnya sektor manufaktur, memperparah keadaan. Sektor industri yang dulunya menjadi tulang punggung lapangan kerja produktif kini menurun kontribusinya, menyebabkan sebagian kelas menengah bergeser ke sektor informal yang lebih rentan.
Tanda-Tanda Kelesuan Dunia Usaha
Bank Indonesia mencatat bahwa pada kuartal pertama 2025, dunia usaha menunjukkan perlambatan signifikan. Saldo Bersih Tertimbang (SBT) hanya mencapai 7,63%, terendah dalam hampir tiga tahun terakhir (di luar masa pandemi). Kinerja ini juga berdampak pada minimnya penciptaan lapangan kerja—tingkat rekrutmen hanya tumbuh 0,97%, level terendah sejak masa pandemi.
Pertumbuhan upah juga lesu. Pada paruh pertama tahun 2025, Saldo Bersih pertumbuhan upah tercatat sebesar 34,91%, terendah sejak 2022 bila dibandingkan semester pertama pada tahun-tahun sebelumnya.
Tantangan Keadilan Ekonomi
Meski angka kemiskinan terlihat menurun, ketimpangan ekonomi justru meningkat. Gini ratio Indonesia per September 2024 mencapai 0,381, naik dari 0,379 pada Maret 2024. Nilai ini sama dengan kondisi Maret 2020 saat pandemi mulai menekan ekonomi nasional.
Para ekonom menilai, pembangunan yang hanya menekankan stabilitas makroekonomi dan mengabaikan pemerataan kesejahteraan telah menciptakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan peningkatan taraf hidup masyarakat pekerja.
Rekomendasi untuk Perubahan
Untuk memperbaiki situasi ini, dibutuhkan pendekatan kebijakan yang menempatkan pekerja sebagai pusat pembangunan. Langkah-langkah yang disarankan antara lain:
• Memformalkan pekerjaan informal.
• Meningkatkan produktivitas di sektor perdesaan, khususnya pertanian.
• Membangun sistem perlindungan sosial universal yang portabel dan inklusif, mencakup semua pekerja tanpa memandang lokasi atau status pekerjaan.
Pendekatan seperti ini tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga menghubungkan kembali antara kerja dan kehidupan yang layak—sebuah prinsip dasar yang selama ini mulai terabaikan.